Dibalik Jatuhnya Kerajaan Pajajaran
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 panggung sejarah di tanah Jawa berubah oleh oleh dua fenomena menarik. Yakni melemahnya dan memudarnya kerajaan-kerajaan lama yang bercirikan Hindu-Budha. Pada sisi lain, muncul Islam sebagai kekuatan politik baru yang semakin menunjukkan pengaruh yang kian membesar. Pasca jatuhnya Majapahit (1527), kerajaan Hindu yang tersisa adalah Pajajaran (Bogor) dan Blambangan (Pasuruan). Inilah fenomena dibalik jatuhnya Kerajaan Pajajaran.
Setelah Majapahit jatuh sekitar tahun 1527, di Pulau Jawa hanya terdapat dua kerajaan Hindu yang masih tersisa, yaitu Kerajaan Pajajaran - yang ibukotanya terletak di sekitar Kota Bogor sekarang dan Kerajaan Blambangan di Pasuruan. Dan setelah Kerajaan Blambangan ditaklukkan oleh Demak (1546), maka tinggallah Kerajaan Pajajaran menjadi satu-satunya kerajaan Hindu yang masih berdiri.
Kekuatan Islam
Pada saat yang sama, kekuatan Islam mulai tumbuh. Melihat hal itu sebagai bahaya yang dapat mengancam eksistensinya, Kerajaan Pajajaran berupaya mengantisipasi dengan menerapkan dua macam kebijakan. Pertama, berusaha membatasi pedagang-pedagang Islam yang mengunjungi pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan Pajajaran. Kedua, mengadakan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Hubungan persahabatan ini dimaksudkan agar Portugis dapat membantu Pajajaran apabila Kesultanan Demak menyerangnya.
Penguasaan Malaka oleh Portugis (1511), ditambah dengan sifat¬sifat ambisiusnya untuk memonopoli semua perdagangan rempah-¬rempah dari Nusantara dan sikapnya yang memusuhi orang-orang Islam, menimbulkan kebencian dan permusuhan dari para pedagang, khususnya pedagang muslim. Hal ini mengakibatkan mereka tidak mau melewati dan singgah di Malaka.
Akhirnya, dengan melalui alur pelayaran yang sulit, para pedagang dari India, Persia, Arab, dan lainnya dapat berhubungan dengan pusat-pusat perdagangan di Jawa melalui Selat Sunda setelah sebelumnya melewati Aceh Barat, Barus, Singkel, Padang Pariaman, dan Salida. Dengan demikian, kedudukan Banten sebagai pelabuhan clan vasal Pajajaran menjadi sangat penting clan ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing. Kondisi ini pada gilirannya telah menjadikan Banten semakin terbuka, termasuk dalam hal penerimaan mereka terhadap Islam.
Kerajaan Demak
Pada sisi lain, perjanjian persahabatan antara Pajajaran dengan Portugis mendapat tanggapan tidak simpatik dari Banten, yang sudah banyak menerima kehadiran Islam, sehingga kesetiaan Banten terhadap Pajajaran semakin menipis. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Demak. la menilai bahwa dengan masuknya Portugis ke Pulau Jawa akan berakibat fatal bagi kemerdekaan Nusantara secara keseluruhan, sehingga peristiwa persahabatan Pajajaran-Portugis telah memperbesar hasrat Demak untuk menguasai Pajajaran.
Guna melumpuhkan kekuasaan Pajajaran, Demak tidak langsung melakukan serangan frontal ke pusat kekuasaannya, tetapi terlebih dahulu harus menguasai Banten. Strategi ini diambil dengan pertimbangan bahwa secara sosio-psikologis, masyarakat Banten yang terbuka dan sudah cenderung menerima kehadiran Islam, ditambah dengan kebencian mereka terhadap Pajajaran yang telah berkolusi dengan Portugis, akan mempermudah Demak untuk menanamkan pengaruhnya, lebih-lebih bila melalui pendekatan emosi keagamaan.
Secara geografis-ekonomis, Banten, sebagai kota pelabuhan dan pangkalan strategis di Jawa Barat, merupakan akses dan aset yang sangat berarti bagi Pajajaran, seperti halnya Sunda Kelapa. Dengan dikuasainya Banten berarti salah satu sumber daya dan sumber dana Pajajaran sudah dikuasai.
Dalam upaya menguasai Banten, Raja Demak, Sultan Trenggana, mengutus Sunan Gunung Jati beserta sejumlah pasukan perang Demak sekitar 1524-1525 untuk menyerangnya. Tidak diberitahukan terjadinya perlawanan yang berarti, malah yang terjadi penguasa Banten menerima kehadiran Sunan Gunung Jati dan pasukannya serta membantu proses Islamisasi. Perkembangan selanjutnya, Sunan Gunung Jati berhasil mengambil alih pemerintahan kota pelabuhan tersebut.
Setelah kota pelabuhan Banten berhasil dikuasai, langkah berikutnya, dalam upaya melaksanakan strategi global mengislamkan Jawa Barat, adalah menyerang Sunda Kelapa, sebuah kota pelabuhan utama yang penting dan ramai yang dimiliki Pajajaran. Perebutan kota ini berlangsung cukup sengit karena letaknya yang tidak jauh dari ibukota Kerajaan Pajajaran.
Sebagai petunjuk bahwa perebutan kota ini sangat penting bagi agama Islam, setetah berhasil direbutnya, kota ini diberi nama baru, Jayakarta atau Surakarta. Keduanya nama-nama Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti jaya dan makmur. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1527.
Ada kisah lucu pasca jatuhnya Pajajaran. Orang-orang Portugis tiba-tiba datang untuk mendirikan kantor dagang dan benteng berdasarkan perjanjian yang diadakannya pada tahun 1522 dengan Sang Hyang dari Pajajaran. Mereka tidak tahu bila kota itu telah diduduki oleh orang-¬orang Islam. Tentu saja kedatangan mereka ditolak dengan kekuatan senjata oleh penguasa baru yang telah beragama Islam. Merekapun mundur.
Penaklukan Banten dan Sunda Kelapa mempunyai arti penting bagi Kesultanan Demak karena beberapa alasan. Pertama, dengan ditaklukannya Banten dan Sunda Kelapa akan memudahkan penaklukan Pajajaran. Kedua, Banten dapat dijadikan tempat strategis bagi penyerangan pantai selatan Sumatra, Lampung, dan Palembang yang penduduknya masih animis yang kaya cengkih dan lada.
Lalu ketiga, dengan dikuasainya jalur pantai Jawa Barat, yaitu Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon berakhirlah kekhawatiran Demak atas orang-orang Portugis di Pulau Jawa. Dan keempat, Banten dapat dijadikan pusat penyebaran Islam untuk penduduk di Jawa Barat dan sebagian Sumatera.
Ambisi Demak untuk menaklukan Pajajaran tidak sempat menjadi kenyataan, karena dengan meninggalnya Sultan Trenggana (1546) Demak menjadi lemah. Pemerintahan pengganti, Susuhunan Prawata (1546-1549), dan seterusnya merupakan anti klimaks terhadap kejayaan raja yang mendahuluinya, Sultan Trenggana, yang sebagai raja Islam telah memerintah sebagian besar Pulau Jawa.
Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh Sultan Hasanudin (1552-1570), penguasa Banten kedua yang menggantikan ayahnya, Sunan Gunung Jati, yang pindah ke Cirebon (1552) untuk memerdekakan Banten lepas dari kekuasaan Demak. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Banten di Pulau Jawa pada masa Hasanudin meliputi Banten dan Jayakarta, sedangkan di luar Pulau Jawa meliputi Lampung dan Bengkulu.
Serangan Banten
Sepeninggal Hasanudin (1570), kesultanan Banten dipimpin oleh Yusuf (1570-1580). Hasrat untuk menaklukan kerajaan Pajajaran menjadi kenyataan pada masa pemerintahannya. Keberhasilan Banten menguasai Paiajaran (1597) merupakan perwujudan dari cita-¬cita lama, yakni sejak Demak memegang hegemoni atas Jawa pada masa Sultan Trenggana (1504-1546), kemudian dilanjutkan oleh Banten sebagai asal Demak pada masa Sunan Gunung Jahi (1525¬1552), dan Banten merdeka pada masa Hasanudin dan Yusuf.
Menurut sumber tradisi, penyerangan Banten ke Pajajaran itu sedikitnya terjadi tiga gelombang besar. Pertama, pada masa Pajajaran di bawah pemerintahan Ratu Dewan Buana (1535-1534), dilakukan oleh Sunan Gunung Jati; kedua, pada masa pemerintahan Nilakendra (1551-1567), dilakukan oleh Hasanudin; dan ketiga, pada masa Pajajaran diperintah oleh Ragamulya (1567-1579), dilakukan oleh Yusuf.
Kenyataan itu mengisyaratkan betapa kuatnya Pajajaran, dalam kondisi yang teralienasi selama kurang lebih setengah abad, baik secara ideologi, ekonomi, maupun keamanan masih menunjukkan kemampuan perlawanannya. Bahkan, menurut sumber tradisi pula, kemenangan Banten atas Pajajaran itu dimungkinkan oleh pengkhianatan pegawai Pajajaran itu sendiri. Sesudah kota kerajaan jatuh, raja beserta keluarganya "menghilang". Sementara itu seluruh kerajaanya dihancurkan dan penduduknya dibunuh atau diusir.
Dengan jatuhnya Pajajaran, maka lenyaplah kerajaan besar terakhir yang menganut Hindu di Jawa. Ini pun berarti bahwa wilayah kekuasaan Banten dengan sendirinya meluas ditambah dengan bekas wilayah yang ditaklukannya. Namun kenyataannya tidak semua bekas wilayah kekuasaan Pajajaran dikuasai Banten, tetapi daerah itu dibagi dalam dua bagian dengan Karawang sebagai batas.
Bagian sebelah barat untuk Banten dan bagian sebelah timur untuk Cirebon. Pembagian ini dimungkinkan mengingat ada hubungan geneologis antara penguasa Banten dan Cirebon, juga baik secara langsung maupun tidak, Cirebon telah turut membantu, paling tidak, dalam memperlemah kondisi Pajajaran.
Setelah ibukota kerajaan ditaklukkan, tampaknya penguasa Banten tidak tertarik untuk melibatkan daerah itu dalam berbagai aktivitas kesuitanan. Hal ini, boleh jadi, disebabkan karena secara geografis wilayah bekas ibukota Pajajaran yang di pedalaman dianggap kurang strategis bagi aktivitas (khususnya perekonornian) Kesultanan Banten yang bercorak maritim.
Di samping itu, sumber daya manusianya pun, terutama yang bersedia masuk Islam, kemungkinan lebih banyak direkrut bagi kepentingan pembentukan dan memperkuat tentara Banten, karena pemindahan penduduk dari daerah yang ditaklukkan ke wilayah pihak yang menang kadang-¬kadang merupakan salah satu tujuan perang.
Kekuatan Banten
Menjelang abad ke-17 terjadi beberapa pergeseran dan perubahan pola serta tata kekuatan politik dan ekonomi di Jawa khususnya dan di wilayah Nusantara umumnya. Munculnya Mataram sebagai pemenang hegemoni, menggantikan posisi Demak, yang senantiasa berupaya memperluas wilayah pengaruh ke kerajaan¬kerajaan di sekitarnya dan berkeinginan agar kerajaan-kerajaan itu menjadi vasal-vasal yang mengakui suzereinitasnya, menambah maraknya percaturan politik di Jawa. Tidak terkecuali Banten; kesultanan ini pun termasuk wilayah sasaran jangkauan semangat ekspansi Mataram. Bahkan Banten pernah beberapa kali diserang, namun gagal.
Yang terjadi malah sebaliknya, politik iuar negeri Mataram yang disemangati oleh spirit ekspansionismenya, secara tidak langsung, telah turut memberi andil dalam memperbesar peranan Banten sebagai pusat perdagangan yang menonjol. Banten dijadikan salah satu tempat pelarian para pedagang dari pesisir Jawa Tengah dan Timur yang berusaha menghindari cengkraman Mataram.
Penghancuran kota-kota pelabuhan pesisir Jawa Tengah dan Timur oleh Mataram itu pun membuat pergeseran dalam jaringan perdagangan dan rute pelayaran di Nusantara. Kalau selama abad ke-16 rute yang ditempuh ialah Maluku-Makasar-Selat Sunda. Sehubungan dengan perubahan itu, maka kedudukan Banten bertambah penting dan strategis. Politik ekspansi Mataram pun telah mempengaruhi pola aliansi, dalam arti "dengan siapa suatu kelompok harus bergabung dan dalam rangka menghadapi kelompok mana".
Setelah Majapahit jatuh sekitar tahun 1527, di Pulau Jawa hanya terdapat dua kerajaan Hindu yang masih tersisa, yaitu Kerajaan Pajajaran - yang ibukotanya terletak di sekitar Kota Bogor sekarang dan Kerajaan Blambangan di Pasuruan. Dan setelah Kerajaan Blambangan ditaklukkan oleh Demak (1546), maka tinggallah Kerajaan Pajajaran menjadi satu-satunya kerajaan Hindu yang masih berdiri.
Kekuatan Islam
Pada saat yang sama, kekuatan Islam mulai tumbuh. Melihat hal itu sebagai bahaya yang dapat mengancam eksistensinya, Kerajaan Pajajaran berupaya mengantisipasi dengan menerapkan dua macam kebijakan. Pertama, berusaha membatasi pedagang-pedagang Islam yang mengunjungi pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan Pajajaran. Kedua, mengadakan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Hubungan persahabatan ini dimaksudkan agar Portugis dapat membantu Pajajaran apabila Kesultanan Demak menyerangnya.
Penguasaan Malaka oleh Portugis (1511), ditambah dengan sifat¬sifat ambisiusnya untuk memonopoli semua perdagangan rempah-¬rempah dari Nusantara dan sikapnya yang memusuhi orang-orang Islam, menimbulkan kebencian dan permusuhan dari para pedagang, khususnya pedagang muslim. Hal ini mengakibatkan mereka tidak mau melewati dan singgah di Malaka.
Akhirnya, dengan melalui alur pelayaran yang sulit, para pedagang dari India, Persia, Arab, dan lainnya dapat berhubungan dengan pusat-pusat perdagangan di Jawa melalui Selat Sunda setelah sebelumnya melewati Aceh Barat, Barus, Singkel, Padang Pariaman, dan Salida. Dengan demikian, kedudukan Banten sebagai pelabuhan clan vasal Pajajaran menjadi sangat penting clan ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing. Kondisi ini pada gilirannya telah menjadikan Banten semakin terbuka, termasuk dalam hal penerimaan mereka terhadap Islam.
Kerajaan Demak
Pada sisi lain, perjanjian persahabatan antara Pajajaran dengan Portugis mendapat tanggapan tidak simpatik dari Banten, yang sudah banyak menerima kehadiran Islam, sehingga kesetiaan Banten terhadap Pajajaran semakin menipis. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Demak. la menilai bahwa dengan masuknya Portugis ke Pulau Jawa akan berakibat fatal bagi kemerdekaan Nusantara secara keseluruhan, sehingga peristiwa persahabatan Pajajaran-Portugis telah memperbesar hasrat Demak untuk menguasai Pajajaran.
Guna melumpuhkan kekuasaan Pajajaran, Demak tidak langsung melakukan serangan frontal ke pusat kekuasaannya, tetapi terlebih dahulu harus menguasai Banten. Strategi ini diambil dengan pertimbangan bahwa secara sosio-psikologis, masyarakat Banten yang terbuka dan sudah cenderung menerima kehadiran Islam, ditambah dengan kebencian mereka terhadap Pajajaran yang telah berkolusi dengan Portugis, akan mempermudah Demak untuk menanamkan pengaruhnya, lebih-lebih bila melalui pendekatan emosi keagamaan.
Secara geografis-ekonomis, Banten, sebagai kota pelabuhan dan pangkalan strategis di Jawa Barat, merupakan akses dan aset yang sangat berarti bagi Pajajaran, seperti halnya Sunda Kelapa. Dengan dikuasainya Banten berarti salah satu sumber daya dan sumber dana Pajajaran sudah dikuasai.
Dalam upaya menguasai Banten, Raja Demak, Sultan Trenggana, mengutus Sunan Gunung Jati beserta sejumlah pasukan perang Demak sekitar 1524-1525 untuk menyerangnya. Tidak diberitahukan terjadinya perlawanan yang berarti, malah yang terjadi penguasa Banten menerima kehadiran Sunan Gunung Jati dan pasukannya serta membantu proses Islamisasi. Perkembangan selanjutnya, Sunan Gunung Jati berhasil mengambil alih pemerintahan kota pelabuhan tersebut.
Setelah kota pelabuhan Banten berhasil dikuasai, langkah berikutnya, dalam upaya melaksanakan strategi global mengislamkan Jawa Barat, adalah menyerang Sunda Kelapa, sebuah kota pelabuhan utama yang penting dan ramai yang dimiliki Pajajaran. Perebutan kota ini berlangsung cukup sengit karena letaknya yang tidak jauh dari ibukota Kerajaan Pajajaran.
Sebagai petunjuk bahwa perebutan kota ini sangat penting bagi agama Islam, setetah berhasil direbutnya, kota ini diberi nama baru, Jayakarta atau Surakarta. Keduanya nama-nama Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti jaya dan makmur. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1527.
Ada kisah lucu pasca jatuhnya Pajajaran. Orang-orang Portugis tiba-tiba datang untuk mendirikan kantor dagang dan benteng berdasarkan perjanjian yang diadakannya pada tahun 1522 dengan Sang Hyang dari Pajajaran. Mereka tidak tahu bila kota itu telah diduduki oleh orang-¬orang Islam. Tentu saja kedatangan mereka ditolak dengan kekuatan senjata oleh penguasa baru yang telah beragama Islam. Merekapun mundur.
Penaklukan Banten dan Sunda Kelapa mempunyai arti penting bagi Kesultanan Demak karena beberapa alasan. Pertama, dengan ditaklukannya Banten dan Sunda Kelapa akan memudahkan penaklukan Pajajaran. Kedua, Banten dapat dijadikan tempat strategis bagi penyerangan pantai selatan Sumatra, Lampung, dan Palembang yang penduduknya masih animis yang kaya cengkih dan lada.
Lalu ketiga, dengan dikuasainya jalur pantai Jawa Barat, yaitu Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon berakhirlah kekhawatiran Demak atas orang-orang Portugis di Pulau Jawa. Dan keempat, Banten dapat dijadikan pusat penyebaran Islam untuk penduduk di Jawa Barat dan sebagian Sumatera.
Ambisi Demak untuk menaklukan Pajajaran tidak sempat menjadi kenyataan, karena dengan meninggalnya Sultan Trenggana (1546) Demak menjadi lemah. Pemerintahan pengganti, Susuhunan Prawata (1546-1549), dan seterusnya merupakan anti klimaks terhadap kejayaan raja yang mendahuluinya, Sultan Trenggana, yang sebagai raja Islam telah memerintah sebagian besar Pulau Jawa.
Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh Sultan Hasanudin (1552-1570), penguasa Banten kedua yang menggantikan ayahnya, Sunan Gunung Jati, yang pindah ke Cirebon (1552) untuk memerdekakan Banten lepas dari kekuasaan Demak. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Banten di Pulau Jawa pada masa Hasanudin meliputi Banten dan Jayakarta, sedangkan di luar Pulau Jawa meliputi Lampung dan Bengkulu.
Serangan Banten
Sepeninggal Hasanudin (1570), kesultanan Banten dipimpin oleh Yusuf (1570-1580). Hasrat untuk menaklukan kerajaan Pajajaran menjadi kenyataan pada masa pemerintahannya. Keberhasilan Banten menguasai Paiajaran (1597) merupakan perwujudan dari cita-¬cita lama, yakni sejak Demak memegang hegemoni atas Jawa pada masa Sultan Trenggana (1504-1546), kemudian dilanjutkan oleh Banten sebagai asal Demak pada masa Sunan Gunung Jahi (1525¬1552), dan Banten merdeka pada masa Hasanudin dan Yusuf.
Menurut sumber tradisi, penyerangan Banten ke Pajajaran itu sedikitnya terjadi tiga gelombang besar. Pertama, pada masa Pajajaran di bawah pemerintahan Ratu Dewan Buana (1535-1534), dilakukan oleh Sunan Gunung Jati; kedua, pada masa pemerintahan Nilakendra (1551-1567), dilakukan oleh Hasanudin; dan ketiga, pada masa Pajajaran diperintah oleh Ragamulya (1567-1579), dilakukan oleh Yusuf.
Kenyataan itu mengisyaratkan betapa kuatnya Pajajaran, dalam kondisi yang teralienasi selama kurang lebih setengah abad, baik secara ideologi, ekonomi, maupun keamanan masih menunjukkan kemampuan perlawanannya. Bahkan, menurut sumber tradisi pula, kemenangan Banten atas Pajajaran itu dimungkinkan oleh pengkhianatan pegawai Pajajaran itu sendiri. Sesudah kota kerajaan jatuh, raja beserta keluarganya "menghilang". Sementara itu seluruh kerajaanya dihancurkan dan penduduknya dibunuh atau diusir.
Dengan jatuhnya Pajajaran, maka lenyaplah kerajaan besar terakhir yang menganut Hindu di Jawa. Ini pun berarti bahwa wilayah kekuasaan Banten dengan sendirinya meluas ditambah dengan bekas wilayah yang ditaklukannya. Namun kenyataannya tidak semua bekas wilayah kekuasaan Pajajaran dikuasai Banten, tetapi daerah itu dibagi dalam dua bagian dengan Karawang sebagai batas.
Bagian sebelah barat untuk Banten dan bagian sebelah timur untuk Cirebon. Pembagian ini dimungkinkan mengingat ada hubungan geneologis antara penguasa Banten dan Cirebon, juga baik secara langsung maupun tidak, Cirebon telah turut membantu, paling tidak, dalam memperlemah kondisi Pajajaran.
Setelah ibukota kerajaan ditaklukkan, tampaknya penguasa Banten tidak tertarik untuk melibatkan daerah itu dalam berbagai aktivitas kesuitanan. Hal ini, boleh jadi, disebabkan karena secara geografis wilayah bekas ibukota Pajajaran yang di pedalaman dianggap kurang strategis bagi aktivitas (khususnya perekonornian) Kesultanan Banten yang bercorak maritim.
Di samping itu, sumber daya manusianya pun, terutama yang bersedia masuk Islam, kemungkinan lebih banyak direkrut bagi kepentingan pembentukan dan memperkuat tentara Banten, karena pemindahan penduduk dari daerah yang ditaklukkan ke wilayah pihak yang menang kadang-¬kadang merupakan salah satu tujuan perang.
Kekuatan Banten
Menjelang abad ke-17 terjadi beberapa pergeseran dan perubahan pola serta tata kekuatan politik dan ekonomi di Jawa khususnya dan di wilayah Nusantara umumnya. Munculnya Mataram sebagai pemenang hegemoni, menggantikan posisi Demak, yang senantiasa berupaya memperluas wilayah pengaruh ke kerajaan¬kerajaan di sekitarnya dan berkeinginan agar kerajaan-kerajaan itu menjadi vasal-vasal yang mengakui suzereinitasnya, menambah maraknya percaturan politik di Jawa. Tidak terkecuali Banten; kesultanan ini pun termasuk wilayah sasaran jangkauan semangat ekspansi Mataram. Bahkan Banten pernah beberapa kali diserang, namun gagal.
Yang terjadi malah sebaliknya, politik iuar negeri Mataram yang disemangati oleh spirit ekspansionismenya, secara tidak langsung, telah turut memberi andil dalam memperbesar peranan Banten sebagai pusat perdagangan yang menonjol. Banten dijadikan salah satu tempat pelarian para pedagang dari pesisir Jawa Tengah dan Timur yang berusaha menghindari cengkraman Mataram.
Penghancuran kota-kota pelabuhan pesisir Jawa Tengah dan Timur oleh Mataram itu pun membuat pergeseran dalam jaringan perdagangan dan rute pelayaran di Nusantara. Kalau selama abad ke-16 rute yang ditempuh ialah Maluku-Makasar-Selat Sunda. Sehubungan dengan perubahan itu, maka kedudukan Banten bertambah penting dan strategis. Politik ekspansi Mataram pun telah mempengaruhi pola aliansi, dalam arti "dengan siapa suatu kelompok harus bergabung dan dalam rangka menghadapi kelompok mana".